Minggu, 4 Juni 2023 | MasjidRaya.comTentang Kami | Kontak Kami
MasjidRaya.commedia silaturahmi umat
Syiar
Renungan dari Menara Kembar

LIBASUT TAQWA

Selasa, 8 September 2020
H. Muhtar Gandaatmaja
Rubrik Khusus Ketua DKM Masjid Raya Bandung setiap Selasa

Tempo doeloe,  fungsi pakaian  bukan  hanya  untuk  penutup badan saja. Fungsi lainnya merupakan simbul identitas seseorang,  kelompok,  suku,  adat  atau  bahkan ciri khas dari Negara tertentu. Pakaian adat di Indonesia banyak ragamnya . Ada pakaian Sunda, Jawa, Bali, Madura, Lampung, Batak, Aceh, Bugis, Ambon, Irian dan lain-lain. Dengan pakaian itu kita akan tahu siapa dia dan dari mana?

Yang  berpakaian  warna hitam atas bawah, model bajunya tidak  berkerah dan bercelana longgar panjang tidak sampai ke mata kaki alias cingkrang, lengkap blangkon atau   caping,   “dudukuy cetok”,  (bahasa sunda), ini  pasti   petani. Berjas lengkap dasi dan sepatu, biasanya pebisnis atau orang penting.  Pakai batik  berarti   “menak Jawa.”  Berpakaian  “baju takwa” (di Indonesia menyebutnya begitu) sarungan dan berpeci, ini pasti santri. Berpakaian seperti busananya kangjeng Nabi Saw:  gamis,  kain berwarna serba putih, pakai sorban atau sejenisnya, bertutur kata lembut mendinginkan, adem, menyatukan dan ber budi pekerti terpuji, sudah dapat ditebak ini pasti ulama.    

Empat dasa warsa terakhir, pakaian sudah mengglobal. Tidak lagi menjadi ciri khas suatu daerah,  kelas tertentu atau apalagi kalau dianggap sebagai  simbul kesalehan.  Menurut Futurolog,  John Naisbitt, dalam Megatrends 2000,  bahwa “Fun, Food dan Fashion”  akan merata ke seluruh dunia.  Busana made in Paris  bisa jadi masuk ke negera-negara Muslim,  sebaliknya pakaian khas adat Arab seperti “Gamis,” yang dianggap oleh sebagian orang  sebagai  busana muslim,  masuk ke negara-negara sekular.

Sebagian kecil   masyarakat muslim Indonesia , menyukai pakaian adat  Arab, gamis. Menyenangi  pakaian  adat Pakistan, “Shalwar Kameez” ( shalwar khamis atau shalwar qomiz), pakaian atasnya  seperti baju takwa  namun ukurannya  lebih panjang   melewati lutut ke bawah,   celananya menyempit sesuai ukuran kaki pemakainya dan tidak cingkrang. Dalam komunitas tertentu pakaian adat  Afghanistan, kurta,  menjadi pilihan.  Pakaian ini  mirip baju adat  Pakistan hanya bagian kepala dililit kain ,  celananya longgar, cingkrang dan ada yang pakai rompi. Pakaian  ini sama dengan pakaian Bangladesh juga bercelana longgar dan  Cingkrang.

Busana Muslimah lebih variatif. Ada khimar atau khumur, niqab, burqa, hijab dan jilbab. Khimar  atau khumur adalah kain yang menutupi kepala, leher dan menjulur hingga menutupi dada (Q.S. An-Nu: 31). Niqab yaitu busana yang hampir sama dengan jilbab dan menutup wajah kecuali bagian mata, masyhur disebut  “Cadar.”  Burqa nyaris sama dengan niqab, bedanya, burqa menutup semua wajah tak terkecuali mata. Agar bisa melihat, kain dibagian mata lebih tipis dengan itu bisa melihat.

Busana muslimah lainnya adalah “Hijab,”  istilah ini lebih popular di kalangan artis, pemakainya disebut “hijaber. ”  Sesungguhnya  pengertian hijab lebih umum. Hijab artinya penghalang atau pembatas.  Apa saja yang menjadi penghalang bisa disebut hijab (QS. Al-Ahjab: 53).  Kayu tripleks, gorden, tiray dari bambu atau tembok beton bisa berarti hijab, yaitu penghalang atau pembatas.

Jilbab malah  lebih spesifik.  Yaitu gamis longgar yang dijulurkan ke seluruh badan hingga sampai ke tumit  dan  tidak membentuk lekuk tubuh.  “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka …  ” (QS. Al-Ahzab: 59).  Dalam praktek, apa yang disebut  oleh para artis “hijab,”  dalam Qur’an justru   khimar atau jilbab.  Kenapa lebih popular hijab dibanding jilbab dan khimar. Itulah masalahnya! Karena dipopulerkan oleh  komunitas  terkenal  walaupun kurang tepat bisa dianggap  benar dan jadi beken.

Esensi pakaian dalam ajaran Islam  fungsi nya “menutup aurat.”  Tidak membentuk lekukan tubuh, tidak transparan dan tidak berlebihan sampai menyapu jalan.  Tentang nama, bahan, warna dan modelnya seperti pakaian Negara mana, silakan atur  sesuka hati. Yang lebih penting dari segala yang paling penting adalah “citra”  busana muslim mestinya disesuaikan dengan perilakunya. Ironi, berbusana muslim/muslimah, tapi “cipika cipiki”  dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Bias, jika  berpakaian mirip busana Nabi SAW, tapi  senang fitnah, adu domba, sangar,  kejam dan kata-katanya kasar. 

Kini zaman telah berubah, pakaian tidak bisa dijadikan sebagai patokan apakah ia orang barat atau timur;  orang saleh atau bukan. Jika  pakaian yang menjadi ukuran kita akan kecewa. Copet di Bus Kota pakaiannya juga perlente, necis, keren dan  bagus bagus  “seperti”  pejabat dan orang saleh.  Pedoman kita secara umum:  “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan (Libasut Taqwa)  pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26).  Wallahu A’lam.

 

Penulis: Ketua DKM Masjid Raya Bandung Jabar/ Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja Bandung



BAGIKAN
BERI KOMENTAR