
MULYAKAN BANI ADAM
![]() |
Rubrik Khusus Ketua DKM MRB setiap hari Selasa |
Putri Cina, demikian rakyat Majapahit memanggilnya. Namanya Siu Ban Ci atau Tan Eng Kian Binti Tan Go Hwat, pedagang plus ulama etnis Tionghoa, panggilannya Syekh Bentong Bin Syekh Quro Bin Syeh Yusuf Siddik Bin Syeh Jamaludin Akbar Al-Husain, salah seorang penyebar Islam di Tanah Sunda: Karawang, Cirebon dan sekitarnya.
Siu Ban Ci, alias Putri Cina adalah satu dari tiga istri Raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya Kelima, yang memerintah sampai 1478. Darinya lahir Raden Fatah dan Raden Kusen. Raden Fatah kelak menjadi Sultan Demak Bintoro. Zaman Majapahit banyak etnis Tionghoa memeluk Islam di era Kekaisaran Dinasti Ming (1368 - 1644). Datang ke Nusantara, umumnya, ikut armada besar Laksamana Cheng Ho dengan tujuan dagang, misi penyebaran Islam, dan menjalin hubungan persahabatan lintas negara. Leluhur mereka datang ke Nusantara lebih awal dari bangsa lainnya yaitu abad ke-5 (tahun 414) dibanding India abad ke-17 dan Bangsa Arab Hadrami, Yaman, abad ke-18.
Walaupun begitu, waktu lama atau sebentar, baginya tidak otomatis menjadi jaminan kenyamanan hidupnya. “Saya ini Jawa atau China?” tanyanya dalam hati. Sebagai permaisuri raja Jawa yang telah melebur dalam bahasa dan budaya setempat, Putri China Jawa banget. Namun, di luar tembok istana ia sering menyaksikan kaumnya diperlakukan tidak adil dan dianggap orang asing. Keresahan hatinya makin dalam usai mendengar nasihat Sabdo Palon-Nayagenggong, penasihat kerajaan. Dunia pewayangan menyebutnya Lurah Semar Bradanaya, bahwa “Putri Cina dan kaumnya lain dengan mereka, tapi sama dengan mereka.” Artinya, ketika dalam keadaan damai sama dengan mereka karena sama-sama manusia. Tapi ketika dalam keadaan pecah pertikaian, Cina bukan manusia karena tidak sama dengan mereka.
Sudah sejak “doeloe” , bila Negara dalam keadaan “bermasalah,” apakah karena masalah politik, social, ekonomi, budaya maupun hal lain menyangkut kehormatan seseorang, dan diperlukan orang atau kelompok sebagai “tumbal” untuk pengalihan perhatian, maka warga Negara etnis China lah yang dianggap tepat menjadi “kambing hitam.” Rentetan peristiwa penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menimpa Etnis Tionghoa antara lain : Tahun 1470 di Batavia, Kompeni melakukan aksi penjarahan dan perkosaan. Sekira 10.000 orang Cina di bantai. Hal serupa terjadi di Kudus tahun 1916. Tahun 1946 di Tangerang, harta mereka dijarah, mayatnya ditumpuk dan rumahnya dibakar. Tahun 1949 ada gerakan bumi hangus warga Cina di Kertosono, Nganjuk, Caruban, Madiun, Blitar, Tulunggagung dan Kediri. Di Bandung, 1973, penghancuran dan perusakan toko-toko milik WNI etnis Tionghoa, penyebabnya tukang sado dipukuli orang Cina. Tidak kalah mengerikan pada peristiwa 13-15 Mei 1998 di Jakarta, etnis China menjadi korban perkosaan, penculikan, pembunuhan, serta rumah dan toko miliknya dibakar menjelang suksesi dari orde baru ke orde reformasi, 21 Mei 1998. Terkenal dengan sebutan “Peristiwa Kerusuhan Mei 98.”
Sekarang, pembantaian besar dan terbuka memang tidak ada. Entahlah kalau diberi kesempatan berkuasa. Tapi menebar kebencian dan intimidasi pada satu kelompok minoritas tertentu masih kerap terjadi. Termasuk kejadian di Solo dan Trenggalek baru-baru ini. Bagi golongan pragmatisme yang menghalalkan segala cara, tidak ada urusan apakah Negara ini hancur atau tidak asal tercapai cita-cita. Mengusung isue PKI, China, Syi’ah dan kelompok Ahli Bid’ah dan Khurafat masih dianggap relevan, walaupun bagi masyarakat cerdas hal seperti itu dianggap kadaluarsa.
Aneh tapi nyata! Dalam gerakan demonstrasi yang berturut turut, pernahkah ada isue pengganyangan terhadap Amerika? Tidak ada! Padahal bukan rahasia lagi kegaduhan bangsa di dunia, termasuk Indonesia sejak Soekarno sampai sekarang, tidak ada yang lepas dari keikutsertaan Amerika dan sekutunya. Kehancuran negara-negara Islam seperti Libiya, Irak, Syiria, Mesir, Libanon, Yaman, Palestina, Iran (diobok-obok) dan lain-lain, disetiap peristiwa itu, “ada Amerika.”
Putri Cina menghela nafas panjang. Matanya menerawang ke angkasa. Sepenggal bait sajak “T’ao Ch’ien” yang ditulis abad ke empat Masehi, ia ucapkan dengan nyaris tak bersuara, bibirnya tertutup linangan air mata:
“……………… Kita datang ke dunia ini sebagai saudara;
Tapi mengapa kita mesti diikat pada daging dan darah?”
Mungkinkah dia pun menanyakan, apa sesungguhnya makna firman Tuhan: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal (saling menyayangi). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13). Wallahu A’lam
Penulis: Ketua DKM Masjid Raya Bandung Jabar/ Ketua Yayasan al-hijaz Aswaja Bandung