
Toleransi dalam Ibadah
MRB - Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melakukan beberapa tradisi, baik skala lokal atau nasional. Disadari atau tidak, tradisi tersebut banyak yang mendapat ilham atau inspirasi dari norma-norma agama. Artinya, agama merupakan sumber inspirasi dalam tradisi atau budaya itu.
Kita bisa memperhatikan, misalnya dengan kewajiban shalat, lahirlah tradisi ngampih (berada di rumah) sebelum maghrib. Dengan adanya perintah sahur di bulan Ramadhan, lahirlah tradisi melek atau tradisi membangunkan orang. Adanya perintah ta'jil, maka lahirlah budaya buka bersama. Bulan Ramadhan, idul fitri, dan perintah silaturahmi, melahirkan budaya mudik. Orang-orang rela pulang kampung sekalipun harus berdesak-desakan di kendaraan.
Kenyataan di atas, menguatkan bahwa agama bisa menjadi sumber budaya. Tidak hanya itu, agama bisa memberi konstribusi pada bidang ekonomi. Misalnya dengan adanya bulan Ramadhan, toko-toko bisa laris. Mulai dari pedagang kecil hingga pedagang besar, merasakan keuntungan lebih dibanding bulan-bulan biasa.
Norma agama itu berlaku sama dan universal. Hanya saja dalam aplikasinya sering berbeda-beda. Misalnya, perintah menutup aurat itu berlaku untuk setiap bangsa. Tetapi dalam aplikasinya ternyata berbeda-beda. Kaum Muslimin di Timur Tengah menutup auratnya dengan jubah. Di negara-negara Barat lebih senang menggunakan celana panjang. Sementara di daerah timur seperti Indonesia banyak menggunakan kain sarung.
Nampaklah di sini, bahwa penerjemahan aplikasi dari norma agama itu berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing. Sehingga sangat sulit menemukan tradisi yang betul-betul murni sebagai kebudayaan Islam. Yang kita temukan adalah budaya Sunda yang islami, budaya Indonesia yang islami, budaya Arab yang islami, dan lain-lain. Artinya, ketika nilai-nilai agama diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat, kemudian lahir tradisi yang diinspirasikan dari ajaran Islam, maka jadilah budaya yang islami.
Pemaparan di atas memperjelas mana yang normatif (agama) dan mana yang termasuk budaya. Ketika Rasulullah hidup di tengah komunitas orang Arab, maka beliau menggunakan budaya Arab. Bagi orang yang tidak bisa membedakan antara yang normatif dan budaya, mungkin saja semua yang datang dari Arab dianggap islami, dan apa-apa yang tidak sesuai dengan budaya Arab dipandang tidak islami. Hal ini tentu sangat keliru.
Kita bisa memperhatikan bahwa dalam agama Islam, Al-Quran dan Hadits bukanlah kitab hukum. Ia merupakan sumber-sumber hukum. Dengan posisi seperti itu, maka akan melahirkan ijtihad yang berbeda dalam memahami sumber tersebut.
Seorang ulama berbeda pendapat dengan ulama lainnya. Seorang kiayi berbeda pendapat dengan kiayi lainnya. Perbedaan tersebut tidak untuk disatukan dalam satu pendapat. Apalagi dipaksa-paksa untuk sependapat. Perbedaan pendapat adalah karunia Allah, agar lahir hukum alternatif dalam masalah yang sama.
Sebenarnya, umat Islam bisa mengambil mana pendapat yang cocok dengan kondisi di mana mereka tinggal. Dan itu pula merupakan hikmah perbedaan ini. Sangatlah rasional kalau pendapat al-Safi'i banyak diikuti oleh penduduk daerah yang dilewati garis khatilistiwa. Sementara untuk daerah subtropis banyak mengikuti madzhab Hanafi dan Hanbali. Madzhab Maliki sangat cocok untuk penduduk kutub.
Mengapa demikian? Karena di daerah tropis banyak air. Kapan saja bersentuhan (laki-perempuan), mereka sangat mudah untuk berwudlu lagi. Sementara di daerah gurun Sahara itu susah air. Jangankan untuk berwudlu, minum pun sangat susah. Sehingga mereka lebih memilih pendapat yang tidak batal wudlu.
Inilah karunia Allah yang perlu kita syukuri. Sehingga dengan perbedaan-perbedaan yang ada, kita bisa beribadah dengan tenang dan nikmat.***