
Ibadah Haji, Wujud Ketundukan Total kepada Allah
![]() |
IST. |
SEKRETARIS Komisi Fatwa MUI, Dr. Asrorun Ni’am.* |
MRB - Jamaah haji diberangkatkan ke Arafah untuk bersiap mengikuti rangkaian puncak haji, Wukuf di Arafah. Dari Arafah, jamaah akan menginap (mabit) di Muzdalifah dan Mina, melontar jumrah, melaksanakan thawaf ifadhah, lalu tahallul yang ditandai mencukur rambut.
Haji merupakan ibadah fisik karena hampir rangkaiannya dilakukan secara fisik. Jika demikian, apa sebenarnya substansi dari haji itu sendiri? Anggota Amirul Hajj yang juga Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Dr. Asrorun Ni’am menjelaskan, ibadah haji adalah ibadah mahdhah. Sifatnya dogmatik atau ta’abbudi (penghambaan).
“Ini sebagai cermin khudu’ wal inqiyad, ketundukan dan kepatuhan total kepada Allah SWT. Dengan demikian, seluruh rangkaian manasik haji itu adalah wujud dari ketundukan kita tersebut,” katanya.
Walau demikian, lanjutnya, secara simbolik ada hikmah yang dapat dipetik. Misalnya, kita hanya menggunakan dua helai kain tidak berjahit. Hal itu mengingatkan kita pada akhir hidup. Kita hadir tanpa memakai apa-apa, dan akan kembali dengan menanggalkan banyak hal seperti anak, harta, dan juga jabatan. “Yang ikut bersama kita hanya kain tanpa jahitan, yaitu kain kafan,” katanya.
Arafah juga dapat diterjemahkan sebagai padang Mahsyar. “Wukuf di Arafah dapat mengingatkan kita akan masa depan, ketika kita semua dibangkitkan. Oleh karena itu, wukuf di Arafah kita lakukan dengan muhasabah. Kita mohon ampunan atas kesalahan, baik yang menyangkut hubungan kita dengan Allah, maupun dengan sesama,” ujarnya.
Contoh lainnya, lanjutnya, adalah melempar jumrah. Secara simbolik, dengan melempar batu dengan doa merajam setan, memiliki hikmah untuk mencampakkan nafsu setan yang berada dalam diri kita atau gangguan setan yang menggoda keataan kepada Allah.
“Itu semua, secara simbolik menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji menuntut ketundukkan kita kepada Allah, serta melawan anasir yang menjauhkan kita dari Allah swt.
Namun demikian, tegasnya, hikmah itu tidak memengaruhi dengan hukum perbuatan. “Jadi, sekalipun kita belum bisa menyelami, kita harus tetap melakukan rangkaian ibadah haji, demi kepentingan keabsahan haji.* ati/sinhat – MasjidRaya.com