Jumat, 26 April 2024 | MasjidRaya.comTentang Kami | Kontak Kami
MasjidRaya.commedia silaturahmi umat
Inspirasi
Abdurrahman bin Abu Bakar

Ksatria dan Berjiwa Bebas

Senin, 19 Juni 2017

MRB - Ia merupakan lukisan nyata tentang kepribadian Arab dengan segala kedalamannya dan kejauhannya. Sementara bapaknya adalah orang yang mula pertama beriman, dan “shiddiq” yang memiliki corak keimanan yang tiada taranya terhadap Allah dan RasulNya.Tetapi Abdurrahman termasuk salah seorang yang sangat keras laksana batu karang menyatu menjadi satu, senyawa dengan agama nenek moyangnya dan berhala-berhala Quraisy.

Di perang Badar ia tampil sebagai barisan penyerang di pihak tentara musyrik. Dan di perang Uhud ia mengepalai pasukan panah yang dipersiapkan Quraisy untuk menghadapi Kaum Muslimin. Sebelum kedua pasukan itu bertempur, lebih dulu seperti biasa dimulai dengan perang tanding. Abdurrahman maju ke depan dan meminta lawan dari pihak Muslimin. Maka bangkitlah bapaknya yakni Abu Bakar Shiddiq r.a. maju ke muka melayani tantangan anaknya itu. Tetapi Rasulullah menahan sahabatnya itu dan menghalangi melakukan perang tanding dengan putranya sendiri.

Bagi seorang Arab asli, tak ada ciri yang menonjol dari kecintaannya yang teguh terhadap apa yang diyakininya. Jika ia telah meyakini kebenaran suatu agama atau sebuah pendapat, maka tak ubahnya ia bagai tawanan yang diperbudak oleh keyakinannya itu hingga tak dapat melepaskan diri lagi. demikianlah, bagaimana pun hormatnya Abdurrahman kepada bapaknya, namun keteguhan hatinya terhadap keyakinannya tetap berkuasa hingga tiada terpengaruh oleh keislaman bapaknya itu. Maka, ia berdiri teguh dan tak beranjak dari tempatnya, memikul tanggung jawab membela berhala-berhala Quraisy.

Namun, orang-orang kuat semacam ini, tidak buta akan kebenaran, walaupun untuk itu diperlukan waktu yang lama. Kekerasan prinsip, cahaya kenyataan dan ketulusan mereka. akhir kesudahannya akan membimbing mereka kepada barang yang haq dan mempertemukan mereka dengan petunjuk dan kebaikan. Dan pada suatu hari, berdentanglah saat yang telah ditetapkan oleh takdir itu, yakni saat yang menandai kelahiran baru dari Abdurrahman bin Abu Bakar Shiddiq.

Pelita-pelita petunjuk telah menyuluhi dirinya, hingga mengikis habis bayang-bayang kegelapan dan kepalsuan warisan jahiliyah. Dilihatnya Allah Maha Tunggal lagi Esa di segala sesuatu yang terdapat di sekelilingnya, dan petunjuk Allah pun mengurat mengakar pada diri dan jiwanya, hingga ia pun menjadi salah seorang Muslim. Secepatnya ia bangkit dan melakukan perjalanan jauh menemui Rasulullah untuk datang ke pangkuan agama yang haq. Maka bercahaya-cahayalah Abu Bakar karena gembira ketika melihat putranya itu bai’at kepada Rasulullah SAW.

Di waktu kafir ia adalah seorang jantan, maka sekarang ia memeluk Islam secara jantan pula. Tiada sesuatu harapan yang menariknya, tiada pula sesuatu ketakutan yang mendorongnya. Hal itu tiada lain hanyalah suatu keyakinan yang benar dan tepat, yang dikaruniakan oleh hidayah Allah dan taufikNya. Dan mulai saat itu Abdurrahman pun berusaha sekuat tenaga untuk menyusul ketinggalan-ketinggalannya selama ini, baik di jalan Allah, maupun di jalan Rasul dan orang-orang mukmin.

Di masa Rasulullah begitupun di masa khalifah-khalifah sepeninggalnya, Abdurrahman tak ketinggalan mengambil bagian dalam peperangan, dan tak pernah berpangku tangan dalam jihad yang aneka ragam. Dalam peperangan Yamamah yang terkenal itu, jasanya amat besar. Keteguhan dan keberaniannya memiliki peranan besar dalam merebut kemenangan dari tentara Musailamah dan orang-orang murtad. Bahkan ialah yang menghabisi riwayat Mahkam bin Thufeil, yang menjadi otak perencana bagi Musailamah.

Di bawah naungan Islam sifat-sifat utama Abdurrahman bertambah tajam dan lebih menonjol. Kecintaan kepada keyakinannya dan kemauan yang teguh untuk mengikuti apa yang dianggapnya haq dan benar, kebenciannya terhadap bermanis mulut dan mengambil muka, semua sifat ini tetap merupakan sari hidup dan permata kepribadiannya.

Abdurrahman wafat saat “mudik” ke kota kelahirannya, Mekah. Orang-orang mengusung jenazahnya di bahu-bahu mereka dan membawanya ke suatu dataran tinggi Mekah lalu memakamkannya di sana, yakni di bawah tanah yang telah menyaksikan masa jahiliyahnya dan juga telah menyaksikan masa Islamnya—keislaman seorang laki-laki yang benar, berjiwa bebas dan ksatria.* Abu Ainun/”Karakteristik Perihidup Sahabat Rasulullah” - masjidraya.com


KATA KUNCI:

BAGIKAN
BERI KOMENTAR