Telaah
Manusia Istimewa
MasjidRaya - Allah SWT berfirman dalam Hadis Qudsi: “Tidak seorangpun hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling aku cintai, melainkan dengan apa yang telah aku wajibkan kepadanya. Hambaku adalah orang yang selalu mengerjakan ibadah-ibadah nawafil (amalan-amalan sunnah) sehingga aku mencintainya. Ketika Aku telah mencintainya, maka Akulah yang akan menjadi telinga yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dia gunakan untuk melihat, tangan yang dia gunakan untuk memukul, kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti Aku berikan, dan jika dia butuh perlindungan-Ku, pasti Aku lindungi.”
Melalui Hadis Qudsi ini, kita bisa memahami bahwa seorang hamba yang sangat istimewa di hadapan Allah SWT adalah seorang hamba yang mampu memadukan antara suatu kewajiban (fara'idh) dengan amalan sunnah (nawafil). Tidak ada artinya amalan sunnah, atau ibadah-ibadah yang sifatnya sekunder di saat hal-hal yang lebih wajib ditinggalkan.
Kita mengerjakan shalat sunnah Dhuha, Hajat, atau tahajud, misalnya, tetapi harus juga dengan tidak meninggalkan kewajiban shalat lima waktu yang fardhu. Kita selalu melaksanakan puasa Senin-Kamis, tetapi juga setelah melaksanakan puasa wajib Ramadan. Kita menunaikan haji ke Baitullah untuk yang ke sekian kalinya, tetapi juga harus dengan melihat apakah orang-orang miskin di sekeliling kita sudah tercukupi semua. Jangan sampai kita selalu melaksanakan ibadah sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, tetapi kita tidak menjaga tali silaturrahmi yang wajib.
Di saat kita bisa memadukan atau mengerjakan antara amalan-amalan yang wajib dan sunnah, maka di saat itulah seorang manusia menjadi lebih istimewa di hadapan Allah SWT. Namun yang perlu untuk selalu kita ingat adalah, bahwa ibadah itu harus dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan dalam mengerjakannya. Harus lillahitaala, semata-mata karena mencintai-Nya. Tanpa keimanan dan keikhlasan, maka semua itu akan hampa tiada arti.
Allah SWT sangat mencintai kita sebagai hamba-Nya. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita menyembah, tunduk dan patuh kepada Allah SWT hanya atas dasar cinta kita kepada-Nya, bukan dilandasi oleh rasa takut atas murka dan siksa-Nya, atau karena iming-iming kenikmatan surga, walaupun hal itu juga tidak buruk.***